Our Meeting

by - Juli 14, 2012

Oke, jadi sebetulnya di novel(???) Like We Used To, tokoh yang namanya Virgo ini memiliki peran yang sangat penting. Dia itu kakak kelas-nya Arka yang suatu saat nanti bakal jadi bos-nya Arka. Tokoh ini punya karakter jahil, suka asal ngomong, kadang semena-mena (?), tapi perhatian banget sama Arka. Mereka deket kayak kakak-adik gitu :') Kenapa namanya Virgo? Apa karena zodiaknya Virgo? Nggak sih, aku suka aja sama nama Virgo. Yah, suatu dedikasi buat si Dhesi juga sih ._.

Aku iseng bikin cerita tentang pertemuan Virgo dengan Arka, dari sudut pandang Virgo. Bagian ini nggak akan muncul di novel. Hihik ._. Oh iya, Virgo itu nama cowok loh.



***


Aku duduk di sofa ruang keluarga. Jantungku berdegup kencang, seperti lagi menunggu eksekusi mati.

Papa sedang duduk di hadapanku. Hari ini sosoknya lebih seram dari genderuwo, meskipun aku nggak pernah melihatnya sih. Tapi kayaknya, Kak Aries dan Kak Gitta sama sekali tidak terganggu. Kak Aries tetap asyik bermain game bot, sementara Kak Gitta masih sibuk dengan majalah bergambar cewek yang lagi nyengir di tangannya.

Tentu saja. Bukan rapor mereka yang sedang dipegang Papa dengan dahi yang berkerut. Mereka nggak dapat nilai merah. Rapor mereka selalu dihiasi banyaaaaaaaaaak sekali angka sembilan. Mereka cuma kenal rangking satu atau dua.

"Nilai macam apa ini?" suara Papa terdengar berat. Dan galak. Aku menelan ludah dengan gugup.

"IPA enam. Bahasa Indonesia enam. Matematika lima!" Papa membanting raporku ke atas meja, kecewa berat. "Sudah, Papa nggak mau lihat rapormu lagi!"

Tapi nilai seni rupaku sembilan! Aku ingin bilang begitu pada Papa, tapi aku terlalu sibuk menggigiti bibir.

"Sudahlah, Pa," Mama menenangkan Papa dengan suaranya yang lembut. "Virgo juga baru naik kelas empat SD. Semester depan kamu perbaiki nilaimu ya, Sayang?"

Belum sempat aku mengangguk, Papa sudah berkata dengan galak lagi. "Dia itu terlalu dimanjakan, makanya jadi suka main seperti itu! Virgo, coba kamu contoh Kak Aries sama Kak Gitta! Mereka selalu rangking lima besar paralel!"

Lagi. Aku dibandingkan lagi dengan kedua kakakku itu, yang membuatku makin nggak mau menjadi seperti mereka.

"Mereka kan sudah SMP. Virgo masih SD, Pa," Mama membelaku kembali.

Papa hanya membalasnya dengan satu dengusan kesal. "Omong kosong! Sudah, cukup. Semester depan Virgo bakal masuk boarding school. Kamu dengar itu, Virgo?"

Aku mengerutkan kening. Apa itu boarding school?

"Boarding school?" mata Mama melebar. "Di kota ini nggak ada boarding school, Pa."

"Maka dari itu. Virgo akan bersekolah di Jogja."

Aku kaget mendengarnya. Aku nggak pernah ke Jogja, tapi aku tahu itu tempat yang jauh. Apa Papa ingin aku bersekolah di sana?

"Jogja?" Mama masih tidak percaya.

"Ya, di Yayasan Adwitiya," suara Papa sudah tidak segalak tadi. "Pernah dengar kan? Teman Papa penyandang dana di sana. Mereka punya SD, SMP, dan SMA. Ada boarding school juga..."

"Virgo masih SD, Pa!" kata Mama gusar. "Nggak perlu sekolah di boarding school dulu..."

"SD Adwitiya bagus, Ma. Fasilitasnya juga lengkap," ujar Papa. "Virgo nggak boleh kebanyakan main, supaya nilai-nilainya bagus. Dengar, Virgo?"

Aku diam, masih nggak mengerti. Apa mereka lagi ngomongin apa sih? Boarding school? Apaan tuh? Sekolah... papan?

"Aries, Gitta, Virgo," Mama memanggil kami. "Naik, sana. Mama mau bicara sama Papa."

"Ayo Virgo," ajak Kak Aries. Ogah-ogahan, aku mengikuti kedua kakakku ke lantai atas.

"Menurutku, Papa berlebihan, deh," kata Kak Gitta setelah kami duduk di ruang keluarga lantai dua.

Aku sudah menghadap krayon dan sebuah gambar yang belum sempat kuselesaikan. Sambil menorehkan warna oranye di langit pada gambar pemandangan lautku, aku berusaha menguping pembicaraan Mama dan Papa. Namun rupanya mereka memelankan suara.

"Gambarmu bagus banget, Go," kata Kak Aries tulus. "Harusnya Papa sekolahin kamu di sekolah seni aja, bukan boarding school."

Aku mengernyit. "Emang boarding school apaan, Kak?"

"Kamu nggak tahu?" tanya Kak Aries. Aku menggeleng. "Boarding school itu sekolah asrama."

Asrama? Apa itu berarti aku harus menginap di sekolah? Entah mengapa, aku merasa seperti diusir dari rumah.

*

Papa serius soal sekolah asrama itu. Beberapa hari sebelum masuk sekolah, aku diantar ke sekolahku yang baru. Namanya SD Adwitiya. 

Boarding school sepi sekali. Seharusnya kamar ini berisi delapan orang, tapi sekarang aku sendirian. Kata Bu Tri, guruku yang baru, murid SD jarang yang tinggal di asrama. Karenanya aku bisa memakai kamar di Asrama Putra ini sepuasnya.

Tapi aku kesepian. Baru semalam saja, aku sudah kangen Mama. Aku sudah kangen Kak Aries dan Kak Gitta. Bahkan aku kangen Papa. Aku ingin main Nintendo seharian dengan Kak Aries. Aku juga nggak keberatan buat rebutan TV di rumah sama Kak Gitta. Di sini nggak ada TV. Aku nggak suka boarding school. Aku mau pulang.

"Virgo!"

Aku menoleh dan melihat Bu Tri di pintu kamarku. Di belakangnya terlihat seorang anak cowok kurus dengan kaos kedodoran yang terlihat malu-malu. Aku yakin anak itu lebih muda dariku.

"Ini ada teman baru. Mulai sekarang kamu sekamar sama Kak Virgo," kata Bu Tri pada anak itu. "Ayo kenalan, sana."

Anak itu tetap diam. Kali-kali dia takut karena baru pertama kali datang ke tempat seperti ini. Jadi aku mengulurkan tangan dan tersenyum ramah padanya, "Namaku Virgo."

"Arka," meskipun ragu, anak itu menyambut uluran tanganku. Senyum kecil tersungging di bibirnya.

"Nah, kalian jangan berantem ya," kata Bu Tri sambil keluar dan menutup pintu.

Aku mengangguk dan menoleh ke arah Arka terlihat sangat mengagumi kamar asrama ini. Dia mondar-mandir di kamar dengan muka bahagia, melongok keluar jendela, duduk di kasur, bahkan menengok kolong tempat tidur. Kurang kerjaan banget.

"Awas, ada monsternya, lho," kataku iseng. Membuat anak itu kaget dan kepalanya terantuk kayu tempat tidur dengan suara 'duk' keras.

Aku terkekeh. Geli, sekaligus merasa bersalah. Semoga anak ini nggak nangis. Suara benturannya lumayan keras tadi. Pasti sakit banget.

"Aduh," dia hanya mengusap kepalanya beberapa kali sambil meringis, membuatku terkejut. Setelah itu dia memeriksa laci di sebelah tempat tidur, sudah lupa pada kepalanya.

Aku suka anak yang nggak cengeng begini.

"Kamu kelas berapa?" tanyaku, tetap memperhatikan Arka.

"Kelas satu SD, kalau udah masuk sekolah."

Kelas satu SD sudah di sekolah asrama? Wah, mendadak aku jadi kasihan sama anak ini. Ternyata ada yang lebih parah dari aku.

"Kamu juga dihukum?" tanyaku simpatik.

Kali ini Arka menoleh dengan wajah bloon nggak mengerti. "Dihukum?"

"Kelas satu SD dikirim ke sekolah asrama... Kamu dihukum?" aku bertanya lagi. Arka mengernyitkan dahi nggak mengerti. Mukanya serius sekali. "Kenapa Papa Mama-mu ngirim kamu ke sekolah asrama begini? Rapormu jelek?"

"Oh," dia berkata seakan mengerti sesuatu. "Nggak. Aku nggak punya Mama-Papa."

Dia mengatakan itu dengan ekspresi datar sekali. Seperti bilang sesuatu semacam 'aku nggak suka sayur'. Beneran deh, aku nggak tahu anak ini kenapa.

"Kamu dihukum?" dia bertanya balik. "Gara-gara rapor jelek?"

"Yah, gitu deh," aku mengangkat bahu.

"Kamarnya nggak jelek, kok. Lebih bagus dari kamarku," Arka menatap langit-langit.

Anak ini nggak seperti anak kelas satu SD kebanyakan. Tetanggaku di rumah yang seumuran sama dia cengeng sekali. Arka malah kelihatan kayak anak seumuranku.

"Kamu suka nggambar nggak, Ka?" tanyaku sambil mengeluarkan satu set krayon dan kertas dari dalam laci.

"Itu apa?" Arka menunjuk krayon.

"Krayon. Buat bikin beginian," kataku sambil membuat gambar pohon. Hijau untuk daun dan coklat untuk batangnya.

"Bagus banget," kata Arka. Mata hitamnya terbelalak lucu. "Aku boleh coba?"

"Boleh," aku menjawab.

Seharian itu kami menggambar terus. Gunung, matahari, bunga, kucing, sawah, daun, dan masih banyak yang lainnya. Arka bikin aku nggak kesepian. Aku jadi nggak terlalu kangen rumah lagi.

Aku melirik Arka yang ketiduran di lantai setelah menggambar sebuah rumah dengan tiga orang di depannya. Seorang ayah, seorang ibu, dan seorang anak. Aku bangkit berdiri, bermaksud memanggil Bu Tri supaya menggendong Arka dan memindahkan anak itu ke kasur. Dia bisa masuk angin kalau tidur di lantai.

Sambil berjalan di koridor Asrama Putra, aku teringat gambar Arka. Apa anak seperti Arka yang cuma punya sedikit ekspresi itu sebetulnya kangen sama orangtuanya? Oh, iya, mungkin aku bisa tanya sama Bu Tri nanti.

****

You May Also Like

5 komentar

  1. aku harus komentar apa? :o ada typo :o

    BalasHapus
    Balasan
    1. udah sesuai belum ini kelakuannya Virgo sama keterangan di atas? ._. mana? mana? :O

      Hapus
    2. lumayan._. ada yang kurang spasi._.

      Hapus
    3. sudah kubetulkan :O dikit sih makanya nggak bisa ngasih tau sifatnya Virgo lebih banyak -_-

      Hapus