Saya dan Kesehatan Mental

by - Maret 21, 2020


Beberapa tahun belakangan ini saya sangat peduli dengan kesehatan mental. Semua dimulai ketika saya merasa segala hal telah saya lakukan, tetapi pada akhirnya saya merasa tidak bisa menolong diri saya sendiri.

Saya merasa membutuhkan bantuan profesional sejak cukup lama. Saya terus bertanya pada teman-teman saya yang kuliah kedokteran, apakah saya benar-benar memerlukan bantuan profesional? Apakah para profesional itu akan hanya akan memberi saya pandangan geli dan membatin, 'Kayak begini saja diributin'? Apakah mereka akan memarahi saya? Saya takut akan segala hal.

Untungnya, saya punya banyak teman baik yang mendorong saya untuk pergi ke profesional. Namun, pergi ke sana pun perlu banyak keberanian. Saya akhirnya pergi ketika pekerjaan saya benar-benar terganggu dan saya tidak punya tenaga bahkan untuk tidur dan makan.

Saya peserta BPJS. Di dokter Faskes I, saya bilang sulit tidur dan ingin memeriksakan diri ke dokter jiwa. Saat itu rasanya sungguh takut ditanya aneh-aneh karena saya bisa menangis kapan saja. Tapi untung dokter di Faskes I langsung memberikan rujukan ke dokter jiwa di rumah sakit terdekat dan saya bisa berobat esok harinya.

Sekarang, sudah satu setengah tahun saya menjalani pengobatan untuk gangguan suasana hati. Mood depresif saya sudah jauh lebih terkontrol dibandingkan dengan sebelum pengobatan. Di luar itu, hal yang membuat saya bangga adalah saya sudah berhasil menolong diri saya sendiri.

Sampai sekarang, saya harus minum obat setiap hari. Kadang dua jenis, kadang empat jenis. Selalu disesuaikan dengan mood saya selama sebulan dan hal-hal yang akan saya hadapi.

Apakah ada yang mencibir? Tentu saja. Ada yang terang-terangan bilang untuk apa minum obat kalau saya masih depresif. Ada yang bilang kasihan ginjal saya kalau tiap hari minum obat. Ada yang bilang obat saya akan membuat saya ketergantungan. Apakah saya sedih dan terganggu dikatai seperti itu? Jelas. Sangat menyakitkan diberi respon negatif ketika yang saya lakukan hanya berjuang keras untuk tetap hidup. Aren't we all?

Lantas, bagaimana saya menghadapinya? Saya selalu mengingat apa yang dikatakan oleh dokter saya: "Mereka berkata begitu karena tidak tahu." Saya pikir lagi, ah, benar juga. Mereka tidak tahu. Mereka tidak pernah ada di posisi kita. Saya juga tidak selalu punya banyak waktu dan kesabaran untuk menjelaskan pada mereka.

Jadi setelah saya pikir, dari pada saya menghabiskan waktu untuk berkelahi lantas sedih, saya akan memanfaatkan pengalaman saya untuk menolong lebih banyak orang.

Coba lihat di sekitar kalian, berapa orang yang tampak memiliki masalah tapi tidak tahu harus ke mana dan tidak tahu harus bagaimana?

Awalnya, saya pikir hanya saya yang seperti itu. Ternyata teman terdekat saya banyak yang memiliki masalah dan tidak tahu harus ke mana. Mereka baru mengakuinya ketika saya bercerita bahwa saya menderita bipolar disorder dan sedang ditangani oleh psikiater. Banyak dari mereka yang juga pergi ke profesional untuk self healing. Saya selalu menyarankan mereka untuk ke psikolog atau ke psikiater. Banyak dari mereka yang akhirnya berani ke profesional dan merasa jauh lebih baik.

Tentu saja saya sangat senang bisa membantu teman-teman saya. Bahkan sepertinya perasaan sedih karena disepelekan tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan melihat teman-teman saya terbantu.

Jadi sekarang saya memutuskan memberikan cerita ini pada siapapun yang membaca (setelah mengumpulkan semua keberanian yang saya miliki). Mungkin akan lebih banyak orang yang melabeli saya orang gila karena harus ke psikiater setiap bulan dan minum obat. Tapi mungkin juga, akan ada banyak orang yang lebih menyadari pentingnya kesehatan mental setelah membaca tulisan saya.

Teman-teman yang baik, jangan ragu untuk mencari pertolongan ke profesional ketika kalian tidak merasa baik-baik saja. Ingat bahwa kita hanya mencoba segala hal yang kita bisa untuk tetap hidup dan bersama orang yang kita kasihi lebih lama.

Semoga kalian selalu dilimpahi cinta.

Salam sayang,
Anggita

You May Also Like

0 komentar