Tolerate

by - Maret 24, 2017

Source: Pinterest

Pada suatu hari ketika hujan lebat, di tengah riuh ricuh ruang belajar kampus, temanku yang pandai tiba-tiba berkata, "Kamu kepikiran nggak sih, kalau kita tuh bisa berjodoh sama siapa aja?"

Seketika aku yang tadinya serius memperhatikan berita di LINE Today, menatap temanku itu sambil mengernyitkan dahi dan merespon, "Hah?"

Bukan, aku bukannya tidak setuju dengan ucapannya. Tapi sesungguhnya aku tidak paham mengapa tiba-tiba dia mengangkat topik soal jodoh. Namun sepertinya temanku itu salah mengartikan 'hah'-ku sebagai sebuah tuntutan penjelasan.

"Iya, kan?" lanjutnya bersemangat. "Semua orang itu bisa berjodoh. Misalnya, aku sama...." Lantas temanku itu memperhatikan sekitar, kemudian menunjuk adik tingkat kami yang barusan lewat dengan gerakan tak kentara.

"Dia," lanjut temanku itu, sementara aku mengangguk khidmat menunjukkan bahwa aku masih mendengarkannya. "Asal aku bisa menerima kondisinya dan dia juga bisa menerima kondisiku. Benar, kan?"

"Emmm.... iya."

Apa lagi, sih jawaban yang bisa aku berikan? Lagian, otakku sedang auto-pilot memproses kabar bahwa Andhika eks Bogosipo Band kini telah menjadi anggota dewan. Lebih mengherankan lagi, sekarang wajahnya lebih bercahaya dari emergency lamp redup di rumah kami. Maksudku, wajah Andhika ya, bukan wajah temanku. Hal yang paling aku syukuri adalah bahwa kini model rambutnya tidak lagi seperti habis dipangkas dengan sabit.

"Makanya, Cik, kalau orang bilang jodoh itu ada di tangan Tuhan, sebenarnya nggak juga. Kita bisa berjodoh sama siapa aja, asal bisa saling menerima," lanjutnya yakin. Sementara aku cuma mengangguk-ngangguk. "Iya, kan? Aku pintar, kan?"

"Iya, iya, bener," jawabku dengan lagak yang kurasa cukup meyakinkan.

"I know! I'm smart!" ujarnya puas, menutup tema diskusi random di sore itu dan kembali melanjutkan pembuatan materi presentasi.

Otakku yang kala itu tidak responsif, baru memproses ide temanku beberapa hari kemudian. Sepertinya apa yang dikatakan temanku itu memang banyak betulnya. Kalau kupikirkan lagi (kali ini aku sudah tidak sibuk memikirkan eks Bogosipo Band), misalnya, aku ini adalah wanita yang memegang teguh prinsip 'cowok itu nggak perlu ganteng, yang penting well groomed'. Sebenarnya, poin dari 'well groomed' yang paling utama menurutku adalah wangi. Aku sungguh sangat ilfil dengan cowok bau badan. Like, oke kalau dia tidak bisa berpakaian dengan rapi, masih bisa ditolong. Tapi kalau bau badan... sudahlah, bahkan Keanu Reeves pun kalau dia bau badan akan kucoret dari daftar calon suami.

((Emang dia mau juga jadi calon suami lu????))

Ya, pokoknya segitu nggak sukanya aku dengan cowok yang badannya bau. Tapi sebenarnya, aku bisa saja berjodoh dengan seseorang yang bau kaki di seluruh badannya, asal aku bisa dan mau menerima kondisi itu. Ya, kan?

Jadi kusimpulkan bahwa mungkin pasangan yang tidak bersama lagi itu sebenarnya alasannya hanya satu, yaitu tidak bisa saling menerima keadaan. Istilah cerdasnya sepertinya adalah toleransi.

Hmmm... hubungan manusia memang perlu banyak toleransi, sih, bukan cuma dalam jodoh-jodohan saja. Berteman pun begitu. Misalnya, kamu punya teman yang dikit-dikit ngambek, like, nggak diajak makan bareng saja ngambek. Nah, tapi kamu bisa menolerir hal itu sehingga bagimu itu bukan sebuah hal besar, jadi kamu hepi-hepi saja berteman dengannya.

Sayangnya, manusia itu seperti harga minyak dunia, sukanya berubah-ubah. Hal yang awalnya bisa ditolerir, mungkin di masa depan tidak akan bisa ditolerir lagi. Tidak ada yang tahu dan tidak ada jaminannya. Itulah bagian yang menyeramkan dari hubungan antarmanusia.

Sehingga menurutku kata-kata paling romantis yang bisa diucapkan lelaki adalah, "Please be mine, I am going to tolerate you for the rest of my life."

Yha, kira-kira begitu.

Jangan khawatir, aku memang pandai.

You May Also Like

0 komentar