Jam Tangan Suami
by
Anggita Sekar Laranti
- Desember 15, 2020
Sore itu saya menjemput suami dengan girang di Stasiun Tugu. Maklumlah, kami sudah hampir dua minggu nggak ketemu karena dia lagi ada kerjaan di luar kota yang menuntut dia cuma bisa pulang dua minggu sekali.
Ini pertama kalinya kami jauh-jauhan setelah menikah selama empat bulan. Hidup saya masih rasa-rasa manten anyar. Hari pertama suami mulai kerja di luar kota, saya mewek karena kangen. Dan tentu saja untuk lebih mendapatkan kesan dramatis, saya tidur sambil ngeloni baju suami saya (walaupun paginya kemudian saya masukkan ke dalam keranjang cucian).
Kata suami saya suatu hari, “Lov, kayaknya besok anak kita laki-laki aja deh. Kalau perempuan nanti kayak kamu. Susah aku kalau ada dua yang kayak kamu.”
Nah, setelah menemukan suami saya yang lagi nunggu di pinggir jalan dekat Pasar Kembang, saya WhatsApp doi.
“Udah sampe. Ayooo.”
Saya kasih dia helm yang tidak lupa saya bawa karena kami tidak ingin ditangkap pulici. Kereta suami tiba di Stasiun Tugu pukul 16.00, jadi saya ngantor dulu baru jemput dia. Lantas, kami boncengan naik motor ke arah selatan. Betul. Tidak seperti tokoh novel yang baru nikah terus dijemput naik Honda BRV, kami ke mana-mana naik Honda Vario. Memang beginilah realita hidup.
Tapi nggak apa-apa, sih. Saya bisa dusel-dusel gemas sambil sesekali cubit kecil pinggang suami saya walau kadang diprotes, “LOV, INI JALAN RAYA!”
Sambil dusel-dusel di bahunya, saya melihat benda asing di pergelangan tangan suami.
“Lho, jam tangan kamu baru?” Saya bertanya.
“Kan kemarin aku udah bilang,” suami menjawab. Untuk menegaskan bahwa pembeliannya nggak mubazir, dia menambahkan. “Ini murah lho, aslinya harga 300. Ini cuma 200.”
Hmm, perasaan kemarin bilangnya baru pengen jam tangan. Tiba-tiba udah beli aja.
Tentu saja sebagai istri yang tidak suka keributan, saya diam saja. Ya nggak lucu juga sih kalau ribut soal jam tangan di jalan.
Tapi setelah melihat reaksi suami yang jadi pekiwuh gara-gara kepergok beli jam tangan yang harganya lumayan, saya jadi geli sendiri. Dalam rumah tangga kami, saya bertugas sebagai Menteri Keuangan. Simply karena saya senang organizing serta rajin nyatetin arus kas masuk dan keluar. Saya juga lebih telaten buat bikin post-post keuangan dan menjalankannya dengan tekun. Kalau suami yang pegang, bisa bubar uangnya nggak tahu pergi ke mana.
Tiap bulan kami berdua punya uang jajan masing-masing yang bisa bebas kami belanjakan di luar uang makan bulanan. Jadi sebetulnya kalau suami mau beli barang apapun, asal masih bisa dia beli pakai uang jajannya, sebenarnya saya juga nggak bakal mengomel.
Menjadi Menteri Keuangan Keluarga kayaknya membuat saya berasa jadi punya power, makanya suami jadi pekiwuh mau beli barang ini itu (seperti suami-suami pada umumnya). Padahal Pak Suami saya beri mandat lho menjadi Menteri Koordinator Bidang Investasi kayak Pak Luhut. Harusnya kan lebih powerful dari saya, yak.
Nah, suatu hari ketika suami lagi di Jakarta karena ada meeting sama kementerian nggak tahu apa, dia chat saya, “Sayang, beliin paket nelfon By.U-ku, dong. Hehe, yang 6 ribu aja.”
Aslinya, nomor By.U itu punya saya. Saya pasang di HP lama, fungsinya buat saya internetan kalau lagi di rumah mertua. Karena di rumah mertua sekarang pasang WiFi, kartu By.U-nya saya kasih suami. Lumayan, paketannya murah.
Saya menjawab, “HP aku yang ada aplikasi By.U-nya mati. Kamu beli aja sendiri.”
Ya, soalnya beli paketan di By.U emang harus lewat aplikasi, sih.
“Nggak ada opsi m-banking,” suami berkata.
“Pake OVO,” kubilang.
“Sekarang top up OVO ada minimalnya, padahal cuma butuh 6 ribu.”
Dih, akhirnya saya kirim saldo OVO saya ke suami. Habis saya kasih saldo, suami akhirnya bilang, “Aku mau telepon hotel, soalnya jam tanganku ketinggalan. Hehehe. Nanti biar diambilkan temanku.”
”Haduuuh, kamu ini.” Saya geleng-geleng baca chat-nya. Kebiasaan emang suami, ada aja barang yang ketinggalan.
“Akibat beli jam tangan tidak izin istri,” kata dia lagi.
Chat suami bikin saya ngakak. Habis itu ceritanya saya menyuruh suami beli jas hujan karena mantol dia sobek (padahal mau dipakai pulang ke Jogja). Suami sudah saya suruh beli dari lama (nggak pakai anggaran uang jajan dia), tapi dia nggak beli-beli. Jadi dia nggak saya bolehin pulang naik motor kalau belum punya jas hujan. Akhirnya dia mau beli.
Suami kasih saya screenshot produk jas hujan di Tokopedia seharga 250 ribu rupiah. Saya bilang, “Oke. Acc.”
Udah berasa kayak menteri beneran.
Suami menjawab chat saya dengan, “Semoga barokah, awet, dan tidak hilang.”
Saya ketawa lagi.
Jadi begitu ya, Bapak-bapak. Jikalau ingin barang Anda awet, alangkah baiknya jika meminta restu istri.
Sekian dulu post kali ini. Kalau ada yang baca post ini dan mau cerita, silakan komentar di bawah. Sampai ketemu di post selanjutnya!